Langsung ke konten utama

Pada dasarnya semua obat adalah racun

Mengenai obat menurut Hiromi Shinya di buku "The Miracle of Enzyme" (2005):

Orang-orang Amerika mengkonsumsi obat dengan terlalu enteng. Walaupun kondisi-kondisi tertentu memang perlu untuk diobati, saya percaya bahwa semua obat, baik yang memakai resep maupun tidak, pada dasarnya berbahaya bagi tubuh dalam jangka panjang. Sebagian orang percaya bahwa obat-obatan herbal tidak memiliki efek samping dan hanya bermanfaat, tetapi itu juga salah. Baik produk bahan kimia maupun obat herbal tidak mengubah kenyataan bahwa obat-obatan racun (dalam edisi Indonesia diterjemahkan “asing”) bagi tubuh. Terakhi kali saya jatuh sakit adalah pada usia 19 tahun, ketika terserang flu. Dengan demikian, saya hampir tidak pernah minum obat seumur hidup saya. … Oleh karena selama beberapa dekade tidak pernah minum obat, tidak mengkonsumsi alkohol maupun tembakau, dan hanya makan makanan yang tidak mengandung bahan kimia pertanian maupun bahan tambahan makanan, saya akan mengalami reaksi ekstrem terhadap obat yang saya minum dalam jumlah sekecil apapun.

Contohnya, jika saya menyantap sup miso yang mengandung bumbu-bumbu berbahan kimia, denyut nadi saya meningkat 20 denyut, dan saya dapat merasakan wajah saya memerah. Bahkan jika saya minum secangkir kopi pun, tekanan darah saya meningkat 10 hingga 20 poin. Belakangan ini, banyak orang seperti saya yang bereaksi terhadap obat-obatan sesedikit apapun dijuluki “hipersensitif terhadap obat”, tetapi saya menganggap ini benar-benar salah kaprah. Tubuh manusia memang seperti ini dalam keadaan alaminya. Oleh karena kebanyakan orang sering mengkonsumsi alkohol, tembakau, kafein dan soft drink, serta menyantap makanan yang mengandung bahan tambahan makanan dan bumbu-bumbu berbahan kimia, tubuh mereka membangun sebuah toleransi terhadap zat-zat kimia dan oleh karenanya menjadi tidak sensitif terhadap rangsangan.

Namun, karena saya juga seorang dokter, jika memang dibutuhkan, terkadang saya pun menuliskan resep obat-obatan bagi pasien-pasien saya. Selama para dokter terus memberikan resep obat, mereka memiliki tanggung jawab untuk setidaknya memilih obat-obatan yang menimbulkan beban paling ringan bagi tubuh. Dengan alasan ini, sebelum menuliskan resep untuk setiap obat baru, biasanya saya selalu menguji coba obat tersebut pada tubuh saya sendiri, yang bereaksi sensitif terhadap obat-obatan. Yang saya lakukan adalah mencoba ¼ atau ⅛ dari dosis yang dianjurkan dan melihat reaksinya pada tubuh saya. Saya memastikan keamanan obat itu dengan cara bereksperimen pada diri saya sendiri. Tentu saja, di Amerika, efek-efek samping yang dikenal luas dari obat-obatan ditulis secara terperinci. Namun tetap saja, jika tidak mencobanya sendiri, saya tidak akan pernah tahu efek obat itu yang sesungguhnya. Nyatanya, banyak jenis obat menghasilkan reaksi yang tidak tertulis dalam brosur penjelasan mereka. Dengan cara ini, saya dapat menjelaskan kepada pasien-pasien saya pengalaman saya sendiri dan efek-efek samping yang diketahui secara umum, dan saya menuliskan resep obat itu untuk mereka hanya jika mereka telah paham sepenuhnya. Namun, beberapa tahun belakangan ini, saya berhenti menggunakan tubuh saya untuk menguji coba efek-efek obat karena sebuah obat tertentu yang saya uji coba pada diri saya pernah menempatkan saya pada kondisi saya pikir saya akan mati.

 

Obat tersebut adalah sebuat obat populer untuk mengatasi gangguan ereksi pada pria. Pada mulanya, saya mencoba untuk membelah dosis terkecil yang tersedia, yaitu tablet 50 mg, menjadi ¼ ukurannya. Namun, tablet itu sangat keras dan saya tidak dapat membelahnya, betapapun kerasnya saya mencoba. Kemudian, saya mengikir sedikti obat tersebut, meletakkan bubuknya di ujung jari saya, dan menjilatnya. Walaupun jumlah yang saya telan mungkin tidak mencapai 1/7 bagian dari dosis normalnya, penderitaan yang saya alami sesudahnya benar-benar mengerikan. Jika memikirkannya kembali sekarang, saya benar-benar lega tidak menelannya lebih banyak. Efek obat tersebut muncul hanya dalam waktu sepuluh menit. Reaksi pertama yang saya alami adalah hidung tersumbat. Kemudian, saya mulai sulit bernapas; wajah saya mulai terasa seolah-olah membengkak. Kesulitan bernapas terus memburuk hingga suatu titik saat saya pikir saya akan tercekik dan mati. Terus terang, mengalami ereksi dalah hal terakhir yang ada dalam pikiran saya saat itu. Pada saat itu, dengan penderitaan dan ketakutan yang mendalam seperti itu, saya hanya dapat berdoa dalam hati agar saya tidak meninggal saat itu juga. Yang saya pelajari dari hal ini adalah bahwa semakin cepat efek suatu obat muncul, semakin kuat pula racun yang dikandungnya. Jika memilih obat, harap diingat bahwa obat yang sangat efektif, yang menghilangkan rasa sakit dengan cepat, jauh lebih berbahaya bagi tubuh daripada banyak obat-obatan lain. Bahkan dengan obat-obatan pencernaan, ada beberapa efek samping yang tak terduga. Contohnya, jika seorang pria mengonsumsi antasida seperti blokade H2, ada kemungkinan ia akan mengalami gangguan ereksi. Ada pula data yang menunjukkan penurunan tajam jumlah sperma. Itulah sebabnya saya tidak melebih-lebihkan saat mengatakan bahwa masalah-masalah yang kita temukan terkait dengan kesuburan pria akhir-akhir ini dapat dihubungkan dengan berbagai antasida keras yang ada di pasaran. Diantara orang-orang yang biasa menerima resep obat-obatan, ada sebagian yang mungkin tidak tahu obat apa yang mereka minum atau efek dan efek sampingan apa saja yang akan terjadi. Akan tetapi, obat jenis apapun akan memberikan suatu tekanan pada tubuh, dan karena itu, penting untuk mengetahui secara pasti risiko apa saja yang mungkin terjadi. (The Miracle of Enzym, p.71-75, namun dalam edisi bahasa Indonesia ini, sub-judul diperlunak dengan menggantikan kata “racun” dengan kata “asing”)

 

Mengenai obat menurut Ellen G. White (1827–1915) di berbagai buku:

“A practice that is laying the foundation of a vast amount of disease and of even more serious evils is the free use of poisonous drugs. When attacked by disease, many will not take the trouble to search out the cause of their illness. Their chief anxiety is to rid themselves of pain and inconvenience. So they resort to patent nostrums, of whose real properties they know little, or they apply to a physician for some remedy to counteract the result of their misdoing, but with no thought of making a change in their unhealthful habits. If immediate benefit is not realized, another medicine is tried, and then another. Thus the evil continues.”  (Ministry of Healing, p.126)

“People need to be taught that drugs do not cure disease. It is true that they sometimes afford present relief, and the patient appears to recover as the result of their use; this is because nature has sufficient vital force to expel the poison and to correct the conditions that caused the disease. Health is recovered in spite of the drug. But in most cases the drug only changes the form and location of the disease. Often the effect of the poison seems to be overcome for a time, but the results remain in the system and work great harm at some later period.

By the use of poisonous drugs, many bring upon themselves lifelong illness, and many lives are lost that might saved by the use of natural methods of healing. The poisons contained in many so-called remedies create habits and appetites that mean ruin to both soul and body. Many of the popular nostrums called patent medicines, and even some of the drugs dispensed by physicians, act a part in laying the foundation of the liquor habit, the opium habit, the morphine habit, that are so terrible a curse to society.”  (Ministry of Healing, p.126)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Akhir dari pengobatan modern

WHO mengeluarkan amaran pada bulan Maret 2012 tentang bahaya kekebalan kuman (mikroorganisme) terhadap antibiotik. Mungkinkah ini akhir dari pengobatan modern? Namun hal ini tidak perlu ditakuti jika nasihat tentang semua obat adalah racun yang ditulis lebih dari seratus tahun yang lalu, dan kini dikuatkan oleh para ahli (lihat juga artikel ini tentang obat sebagai resiko ), diindahkan. Simak artikel berikut yang kami kutip dari thestar online. An end to modern medicine? GLOBAL TRENDS By MARTIN KHOR A warning by the head of WHO that antibiotic resistance is so serious that it may lead to an end to modern medicine should alert health authorities to contain this most serious health crisis. LAST week, the head of the World Health Organisation (WHO) sounded a large alarm bell on how antibiotics may in future not work anymore, due to resistance of bacteria to the medicines. Antibiotic resistance has been a growing problem for some time now. From time to time, there will be

Wawancara dengan penulis buku "Naikkan suhu badan untuk jadi sehat"

Berapa suhu tubuh anda? Tahukah anda bahwa jika suhu tubuh turun 1 derajat, daya tahan (imunitas) tubuh turun 30%? Jika daya tahan tubuh menurun, bukan hanya anda akan mudah terkena flu, tapi juga terkena hal-hal berikut ini: stress, kegagalan diet, depresi, kanker... Anda perlu membaca buku  " Naikkan suhu badan untuk jadi sehat " (Taion wo ageru to kenko ni naru), karangan  Masashi Saito , M.D. ini. Berikut ini adalah  wawancara dengan penulis buku ini. Pewawancara (Q): Seperti tertulis di buku ini, saya sebenarnya bersuhu tubuh rendah. Akhir-akhir ini berbagai bagian badan saya rasanya tidak fit. Setelah saya baca buku anda, saya menjadi mengerti, dan memulai memperbaiki pola hidup saya. Tadinya saya pikir hanya saya saja yang bersuhu tubuh rendah, ternyata memang banyak orang yang sekarang bersuhu tubuh rendah ya? Saito Masashi (A): Beberapa tahun belakangan ini, seakan-akan mencerminkan kondisi masyarakat yang stress, saya perhatikan banyak sekali orang b

Gula dimana-mana dan penyebab kecanduan

Sudah menjadi teori yang semakin umum bahwa gula adalah penyebab berbagai penyakit. Masalahnya, gula juga adalah "addictive", yaitu menyebabkan kecanduan. Berikut tulisan yang muncul di New York Times tanggal 22 Desember 2014. Musim Gula. Di Mana Saja, dan Membuat Ketagihan. Oleh JAMES J. DiNICOLANTONIO dan SEAN C. LUCAN Rekan kerja Anda membawakan brownies, putri Anda membuat kue untuk pesta liburan, dan permen datang dari kerabat jauh. Gula ada dimana-mana. Itu adalah perayaan, itu adalah pesta, itu adalah cinta. Itu juga berbahaya. Dalam penelitian terbaru, kami menunjukkan bahwa gula, mungkin lebih dari garam, berkontribusi pada perkembangan penyakit kardiovaskular. Bukti juga berkembang, bahwa makan terlalu banyak gula dapat menyebabkan penyakit hati berlemak, hipertensi, diabetes tipe 2, obesitas, dan penyakit ginjal. Namun orang tidak bisa menolak. Dan alasannya cukup sederhana. Gula membuat ketagihan. Dan yang kami maksud bukan membuat ketagihan seperti orang be